Kimia analitis dapat
dibagi menjadi dua kelompok, yaitu analisis kualitatif (qualitative analysis
– QLA) dan analisis kuantitatif (quantitative analysis – QTA). QLA
memfokuskan diri pada kegiatan identifikasi jenis dan sifat suatu senyawa
organik yang terkandung dalam suatu material, misalkan tanaman tertentu. Jika
telah diketahui jenis dan sifat dari senyawa tersebut, maka perlu dilakukan
perhitungan kuantitatif (QTA) kandungan senyawa yang dimaksud dalam material
atau tanaman tersebut. Dengan QLA kita dapat mengenali struktur kimia dan nama
senyawa dengan jalan menganalisis ciri-ciri yang dimiliki dari berbagai sudut
pandang melalui berbagai teknik. Teknik yang dapat digunakan antara lain
dengan ultra-violet (UV) spectrum, infrared (IR)
spectrum, mass spectrum (MS), melting point, color and physical
appearance, serta NMR (nuclear magnetic resonance) itu sendiri.
Sedangkan QTA dapat dilakukan menggunakan HPLC (high performance liquid
chromatography) dengan berbagai teknik baik secara kuantitatif sederhana
maupun atau dengan simultaneous determination, di mana dengan
metode yang terakhir ini data yang dihasilkan lebih akurat. Baik, untuk kali
ini akan dibahas mengenai NMR.
Dari namanya
dulu, nuclear magnetic resonance, atau resonansi magnetik inti
atom. Atom yang dimaksud di sini ada dua jenis yaitu atom karbon (C) dan proton
(H), jadi ada dua jenis NMR, yaitu C-NMR dan H-NMR. Kita akan membahas untuk
C-NMR dahulu, karena lebih mudah untuk dipahami. Bicara soal atom karbon, kita
tahu karbon memiliki nomer masa 12, atau disebut C-12, tetapi ada juga karbon
dengan nomer masa 13 (C-13), di mana keberadaannya hanya sekitar 1% saja. Untuk
NMR, atom karbon yang dideteksi adalah C-13 ini, karena memiliki spin
(1/2) yang dapat dimanfaatkan untuk mengetahui jumlah atom karbon dalam suatu
senyawa, posisinya seperti apa, serta berikatan dengan atom lain melalui
ikatan apa, dengan cara mendeteksi resonansi magnetiknya. Dengan cara tersebut
kita akan dapat mengetahui struktur kimia senyawa tersebut.
Pertama kita bayangkan
dulu bahwa atom C-13 adalah sebuah jarum kompas kecil, di mana jika ditempatkan
pada daerah bebas interfensi medan magnet lain, maka salah satu ujungnya akan
mengarah pada medan magnet bumi, utara dan selatan. Jika di sekitar jarum
tersebut diberikan interfensi medan magnet dengan arah yang berkebalikan dengan
medan magnet bumi, maka akan terjadi perlawanan antara kedua medan magnet
tersebut, yang mengakibatkan jarum akan bergerak-gerak dari posisi mulanya.
Apabila, interfensi medan magnet tersebut lebih besar dari interfensi medan
magnet bumi, maka jarum kompas akan mengarah berlawanan dengan posisi
sebelumnya. Prinsip inilah yang mendasari cara kerja NMR.
Pada sebuah instrumen
NMR, medan magnet dibuat sedemikian rupa pada tingkat energi tertentu,
disesuaikan dengan tingkat energi atom karbon pada C-13 NMR ataupun pada
Proton NMR. Medan magnet ini, dianggap sebagai medan magnet bumi pada
ilustrasi atom C-13 yang telah dijelaskan sebelumnya, di mana atom C-13 diibaratkan
sebagai sebuah jarum kompas yang bergerak menyesuaikan interfensi medan magnet
di sekitarnya. Selanjutnya interfensi medan magnet lain yang dapat menyebabkan
atom C-13 tesebut bergerak berlawanan arah (flipping) dari posisi awal
dilakukan oleh sebuah gelombang radio dengan frekuensi tertentu yang berkisar
antara 25 – 125 MHz.
Besarnya frekuensi
gelombang radio yang dibutuhkan sebuah atom C-13 untuk melakukan flipping berbeda-beda
tergantung kondisi lingkungan dari atom C-13 tersebut. Jika atom tersebut berada
pada lingkungan dengan elektronegatifitas yang besar, maka frekuensi yang
diperlukan untuk flipping menjadi lebih kecil, begitu pula
sebaliknya. Kondisi lingkungan ini dipengaruhi oleh keberadaan atom-atom lain
di sekitar atom karbon tersebut, yang dapat berupa atom Oksigen, Hidrogen,
ataupun Karbon tetangganya, serta dipengaruhi pula oleh ikatan dengan atom
tetangganya tersebut. Adanya ikatan rangkap menyebabkan tingkat
elektronegatifitasnya menjadi lebih besar, sehingga frekuensi yang diperlukan
lebih kecil lagi.
Mengapa lingkungan
dengan elektronegatifitas yang besar, malah membutuhkan energi atau frekuesi
yang lebih rendah? Hal dapat dianalogikan sebagai berikut. Dalam teori atom,
sebuah atom memiliki sejumlah elektron tergantung pada nomer atom tersebut, di
mana elektron-elektron itu berlokasi pada orbital-orbital tertentu yang berada
di sekitar inti atom. Jika pengaruh lingkungan luarnya sangat kecil, maka
elektron-elektron tersebut memiliki kecenderungan dengan inti yang kuat.
Sehingga dibutuhkan energi yang lebih tinggi untuk mengganggu elektron-elektron
tersebut. Kondisi demikian disebut dengan tingkat elektronegatifitas kecil
(pengaruh lingkungan kecil). Sebaliknya jika, pengaruh dari luar cukup kuat,
maka kecenderungan elektron terhadap inti atom juga mengecil, sehingga
elektron-elektron tersebut lebih labil, dengan kata lain untuk melakukan flipping maka
energi yang dibutuhkan juga lebih kecil, kondisi yang kedua ini disebut dengan
elektronegatifitas yang besar.
Dalam sebuah senyawa,
sebagai contoh flavonoid, terdiri dari sejumlah atom karbon dengan posisi dalam
struktur molekul yang beraneka ragam dengan ikatan yang berbeda-beda pula.
Dengan demikian didapatkan adanya suatu fluktuasi frekuensi gelombang radio
yang disebabkan oleh atom-atom karbon tersebut. Dalam NMR, fluktuasi frekuensi
tersebut divisualisasikan dalam menjadi sebuah spektrum, di mana akan muncul
beberapa peak yang tergantung pada jumlah atom karbon pada
senyawa yang sedang dianalisa. Sebagai contoh senyawa flavonol terdiri dari 15
atom karbon, maka dalam spektrum yang dihasilkan terdapat 15 peak (di
luar peak dari solvent yang digunakan) dengan
nilai-nilai yang berbeda-beda, yang disebut sebagai chemical shift. Chemical
shift memiliki satuan ppm (part per million), di mana secara
menandakan bahwa semakin tinggi nilai chemical shift, maka
energi atau frekuensi yang diperlukan sebuah atom untuk melakukan flipping adalah
semakin kecil, yang dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di sekitar atom
tersebut di mana memiliki tingkat elektronegatifitas yang besar.
Mengapa chemical
shift menggunakan satuan ppm? Hal ini sebenarnya mengacu pada perubahan
tingkat energi (frekuensi) atas atom-atom tersebut terhadap nilai standar
(nol), yang biasanya digunakan adalan TMS (tetramethylsilane) yang
berada pada nilai nol tersebut. Perubahan frekuensi tersebut sangat kecil,
sehingga perlu faktor pengali sebesar satu juta (1,000,000) karena menggunakan
satuan frekuensi Mega Hertz. Dengan demikian diperoleh bilangan bulat yang
mudah dibaca.
Berdasarkan
nilai chemical shift tersebut, maka dapat diketahui jumlah
atom karbon dalam suatu senyawa, beserta posisinya dalam struktur kimia,
sehingga dapat disimpulkan jenis, nama, dan struktur kimia dari senyawa
tersebut. Proses penentuan struktur ini dikenal dengan istilah elusidasi.
Walaupun demikian analysis suatu senyawa tidaklah semudah yang dibayangkan.
Data dari C-13 NMR saja tidak cukup, apalagi jika menyangkut jenis senyawa
baru, maka diperlukan data-data lainnya, seperti Proton NMR, Mass Spectroscopy,
UV and IR Spectroscopy, dan juga data-data NMR yang dikembangkan dari C-13 NMR
dan Proton NMR, seperti HMBC, HMQC, COSY, C-H Corr, DEPT dan lainnya.
InsyaAllah akan dibahas pada artikel-artikel selanjutnya.
thanks yaa:)
ReplyDelete