Berdasarkan jenis kepolaran, Thin Layer Chromatography (TLC)
system, atau disebut sebagai kromatografi lapis tipis dibedakan menjadi dua,
yaitu normal phase (NP) dan reversed phase (RP). Dalam sebuah TLC sendiri ada
dua komponen utama, yaitu fase diam (stable / immobilized phase) dan fase gerak
(mobile phase) atau biasa disebut solvent/eluent. Pada jenis NP, untuk fase
diam-nya digunakan bahan yang bersifat polar, pada umumnya menggunakan material
silica gel (SiO2). Sedangkan pada jenis RP menggunakan material yang bersifat
non polar, salah satunya adalah ODS (Octadecylsilane). Harga ODS sendiri jauh
sangat mahal dibandingkan dengan harga silica gel, sehingga biaya TLC
menggunakan sistem reversed phase membutuhkan biaya yang lebih tinggi.
Material yang digunakan dalam fase gerak memiliki sifat yang
berkebalikan dengan sifat material yang digunakan dalam fase diamnya. Kenapa
demikian, hal ini berfungsi untuk mengetahui apakah nantinya komponen atau
senyawa aktif yang diuji di atas TLC dapat diketahui dia lebih cenderung
‘menyukai’ fase diam atau fase geraknya. Kalau senyawa itu lebih menyukai fase
diamnya, berarti dia tidak akan bergerak cepat mengikuti laju pergerakan
solvent yang disebabkan oleh daya kapilaritas, sehingga titik henti atau
retention time (Rf), berada pada nilai rendah (posisi bagian bawah dari TLC),
biasanya memiliki nilai Rf antara 0.20 – 0.30. Sedangkan kalau senyawa itu
cenderung menyukai solventnya, maka dia akan cepat bergerak mengikuti arus
kapilaritas dari solvent tersebut, biasanya berada pada nilai Rf antara 0.75 –
0.90.
Dengan demikian. pada NP system, dimana digunakan bahan bersifat polar sebagai fase diamnya, maka untuk fase geraknya digunakan solvent yang memiliki kepolaran yang rendah. Pada umumnya digunakan campuran antara chloroform dan methanol dengan berbagai perbandingan dimana komponen chloroform diberikan porsi yang lebih besar sebagai contoh (CHCl3:MeOH=65:35, 70:30, 75:25 dsb). Sedangkan pada RP system solvent yang digunakan memiliki sifat kepolaran yang tinggi, dalam hal ini campuran antara methanol dan air merupakan perpaduan yang sering digunakan dengan berbagai perbandingan misalnya MeOH:water= 30:40, 50:50, atau 30:20. Angka perbandingan ini disesuaikan dengan karakteristik senyawa yang sedang diuji. Berkaitan dengan perbandingan dari campuran solvent ini akan dibahas kemudian.
Dengan demikian. pada NP system, dimana digunakan bahan bersifat polar sebagai fase diamnya, maka untuk fase geraknya digunakan solvent yang memiliki kepolaran yang rendah. Pada umumnya digunakan campuran antara chloroform dan methanol dengan berbagai perbandingan dimana komponen chloroform diberikan porsi yang lebih besar sebagai contoh (CHCl3:MeOH=65:35, 70:30, 75:25 dsb). Sedangkan pada RP system solvent yang digunakan memiliki sifat kepolaran yang tinggi, dalam hal ini campuran antara methanol dan air merupakan perpaduan yang sering digunakan dengan berbagai perbandingan misalnya MeOH:water= 30:40, 50:50, atau 30:20. Angka perbandingan ini disesuaikan dengan karakteristik senyawa yang sedang diuji. Berkaitan dengan perbandingan dari campuran solvent ini akan dibahas kemudian.
Sekarang, bagaimana cara kerja dari kedua
sistem TLC tersebut? Yang pertama untuk sistem NP, jika kita menguji kepolaran
antara 3 jenis senyawa yang berbeda tingkat kepolarannya. Sebagai contoh,
berturut-turut dari senyawa A, B dan C, memiliki tingkat polaritas dari yang
tertinggi ke yang rendah. Maka ketika ketiga senyawa diuji pada NP TLC senyawa
A akan berada pada posisi terbawah (Rf terkecil), C akan berada di posisi
teratas (Rf tinggi), sedangkan B akan berada di posisi tengah antara A dan C.
Hal ini terjadi karena A (polaritas tinggi) secara kimia akan cenderung
menyukai fase diam daripada fase geraknya karena sama-sama bersifat polaritas
tinggi sehingga ikatan kimianya lebih kuat. Dengan demikian si A ini lebih
memilih diam bersama menempel fase diam daripada ikut bergerak ke atas bersama
solvent. Sedangkan senyawa C dengan polaritas yang lebih rendah tentunya ikatan
kimia dengan fase diam lebih rendah, sehingga dia mempunyai kecenderungan
menyukai fase gerak, oleh karena itu dia akan bergerak mengikuti pergerakan
solvent yang pada akhirnya akan berhenti pada posisi tertentu (Rf). Sudah bisa
dipastikan bahwa senyawa B akan berada pada posisi tengah2 antara A dan C.
Prinsip yang sama juga terjadi pada sistem RP,
hanya saja hasilnya akan berkebalikan dengan NP, dalam kasus di atas senyawa A
akan berada pada posisi teratas dan C pada posisi terbawah. Hal ini bisa
dipahami karena memang baik fase diam maupun fase gerak kedua sistem berlawanan
sifatnya.
Prinsip kedua jenis TLC yang telah dijelaskan di
atas juga digunakan untuk column chromatography (CC). Karena pada dasarnya
antara TLC dan CC adalah sama secara sistem kerjanya, hanya berbeda dari segi
skala atau volume yang digunakan, baik fase diam atau fase gerak yang digunakan
maupun senyawa yang dielusikan ke dalamnya.
Kemudian berkaitan dengan perbandingan campuran solvent yang digunakan.
Perbandingan yang dipakai didasarkan pada karakteristik senyawa yang diujikan.
Yang pertama untuk aplikasi pada jenis NP, jika senyawa yang diujikan memiliki
tingkat polaritas yang tinggi, maka dia akan berada pada posisi Rf yang sangat
kecil, misalkan antara 0.01-0.20, hal ini nanti akan kurang jelas terlihat pada
saat pengamatan hasil dan yang lebih penting lagi ketika diaplikasikan pada
skala yang lebih besar dengan menggunakan column chromatography maka hal ini
akan menyulitkan proses elusi. Untuk itu agar Rf berada pada rentang 0.40-0.60,
maka tingkat polaritas solvent harus ditingkatkan, misalkan pada awalnya
menggunakan (CHCl3:MeOH=70:30), maka bisa ditingkatkan konsentrasi methanolnya
menjadi (CHCl3:MeOH=60:40 atau 65:35), tergantung hasil ujioba (trial and
error). Dan sebaliknya jika Rf terlalu tinggi (0.75-0.90) maka dapat diturunkan
dengan menurunkan konsentrasi dari MeOH (atau lebih tepatnya komponen solvent
dengan polaritas yang lebih tinggi)Hal serupa juga berlaku pada sistem RP, misalkan fase geraknya adalah campuran antara methanol dan air, maka untuk mempertinggi nilai Rf dilakukan dengan cara meningkatkan konsentrasi methanol. Sebaliknya untuk menurunkan nilai Rf dengan cara meningkatkan konsentrasi air dalam campuran fase geraknya. Perbandingan yang optimal hanya didapatkan dengan melakukan beberapa uji trial and error dengan berbagai perbandingan, dapat dimulai dari standar (MeOH:water=1:1). Dapat disimpulkan untuk penentuan formulasi optimal fase gerak, yang menjadi kunci adalah permainan konsentrasi methanol, baik untuk NP maupun RP. Khusus pada RP sendiri, peran methanol sebagai kunci karena dia memiliki boiling point atau titik didih yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan air, sehingga daya kapilaritasnya akan lebih tinggi dibandingkan air.
Demikian semoga bermanfaat.
0 comments:
Post a Comment